Meskipun ini adalah forum buku, saya ingin mengajak kalian nonton Sang Penari, yang baru premier 10 November lalu. Film ini wajib-tonton, terutama bagi yang doyan baca buku. Apalagi anak urban dekade ini, yang sudah
lupa hiburan rakyat zaman agraris. Seru juga untuk membayangkan era retro, tatkala dunia masih sederhana. (Kebanyakan kamu gak ngalami kan?). Tidak cuma itu, cerita ini juga menyentuh sejarah kelam negeri kita (periode 65-66).
Sang Penari (sutradara Ifa Isfansyah) diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya sastrawan Ahmad Tohari. Sinopsis atau resensinya sebetulnya sudah banyak sekali ditulis (tanya saja Mbah Google). Maklum, bukunya terbit pertama kali tahun 1982--nyaris 30 tahun yang lalu, jadi sudah tergolong klasik! Sekarang dipasarkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, dengan sampul yang sama dengan poster film.
Novel dan filmnya berkisah tentang perempuan cantik penari ronggeng. Jangan bayangkan kota besar. Bayangkan sebuah dusun terpencil di tahun 50an atau 60an. Bukan cuma tidak ada listrik, sekolah pun di masa itu tidak penting. Tapi cinta selalu penting--dari zaman Cleopatra dan Asterix, Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, selalu begitu, manusia terus-terusan jatuh cinta. Bisa dibilang, ini kisah cinta antara Srintil, si penari ronggeng, dengan Rasus, pemuda desa yang lantas jadi tentara. Di dusun yang tak ada listrik dan sekolah tak penting itu, tari ronggeng bermakna penting. Ini tari rakyat yang mistis sekaligus erotis--yang, agaknya, tidak bisa begitu saja kita hakimi dengan kacamata modern orang kota.
Itu mungkin tantangan buat kita waktu membaca kisah manusia dari konteks yang berbeda. Bisa tidak kita tidak buru-buru menghakimi?
Yang sudah baca Ronggeng Dukuh Paruk bisa menonton Sang Penari sambil membandingkan dengan novelnya. Yang belum baca bisa menonton dulu, baru cari bukunya. Setelah menyimak film maupun novelnya, banyak hal yang bisa dibahas.
Film, tentu saja, harus tuntas dalam sekitar satu setengah jam. Novel boleh dibaca berjam-jam atau berhari-hari. Jadi, film adalah bahasa yang berbeda dari buku. Peralihan "bahasa" itu menarik banget, buat saya sih. Misalnya, dalam film selalu ada penyederhanaan konflik dan penghilangan tokoh. Tokoh Bajus, misalnya, hilang di film. Tapi ada juga tokoh baru yang muncul yang berfungsi untuk melancarkan alur.
Film Sang Penari wajib-tonton, tapi bukan berarti sempurna. Buat saya, sebagai kisah cinta, penggarapan film ini terlalu realistis dan obyektif (realistis dan obyektif bertentangan dengan perasaan jatuh cinta). Tapi ,sebagai film bertema sejarah dan politik, film ini kurang bersikap, selain ada satu dua hal yang tidak akurat. Konflik sosial di Dukuh Paruk yang menyebabkan pembunuhan massal terhadap [yang dituduh] simpatisan PKI tidak tergarap. Militer tampak simpatik dalam film ini. Akibatnya, persoalan sejarah penting era itu tidak benar-benar terangkat.
Tapi, sekali lagi, film dan novel ini wajib ditonton dan didiskusikan.
Sang Penari (sutradara Ifa Isfansyah) diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya sastrawan Ahmad Tohari. Sinopsis atau resensinya sebetulnya sudah banyak sekali ditulis (tanya saja Mbah Google). Maklum, bukunya terbit pertama kali tahun 1982--nyaris 30 tahun yang lalu, jadi sudah tergolong klasik! Sekarang dipasarkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, dengan sampul yang sama dengan poster film.
Novel dan filmnya berkisah tentang perempuan cantik penari ronggeng. Jangan bayangkan kota besar. Bayangkan sebuah dusun terpencil di tahun 50an atau 60an. Bukan cuma tidak ada listrik, sekolah pun di masa itu tidak penting. Tapi cinta selalu penting--dari zaman Cleopatra dan Asterix, Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, selalu begitu, manusia terus-terusan jatuh cinta. Bisa dibilang, ini kisah cinta antara Srintil, si penari ronggeng, dengan Rasus, pemuda desa yang lantas jadi tentara. Di dusun yang tak ada listrik dan sekolah tak penting itu, tari ronggeng bermakna penting. Ini tari rakyat yang mistis sekaligus erotis--yang, agaknya, tidak bisa begitu saja kita hakimi dengan kacamata modern orang kota.
Itu mungkin tantangan buat kita waktu membaca kisah manusia dari konteks yang berbeda. Bisa tidak kita tidak buru-buru menghakimi?
Yang sudah baca Ronggeng Dukuh Paruk bisa menonton Sang Penari sambil membandingkan dengan novelnya. Yang belum baca bisa menonton dulu, baru cari bukunya. Setelah menyimak film maupun novelnya, banyak hal yang bisa dibahas.
Film, tentu saja, harus tuntas dalam sekitar satu setengah jam. Novel boleh dibaca berjam-jam atau berhari-hari. Jadi, film adalah bahasa yang berbeda dari buku. Peralihan "bahasa" itu menarik banget, buat saya sih. Misalnya, dalam film selalu ada penyederhanaan konflik dan penghilangan tokoh. Tokoh Bajus, misalnya, hilang di film. Tapi ada juga tokoh baru yang muncul yang berfungsi untuk melancarkan alur.
Film Sang Penari wajib-tonton, tapi bukan berarti sempurna. Buat saya, sebagai kisah cinta, penggarapan film ini terlalu realistis dan obyektif (realistis dan obyektif bertentangan dengan perasaan jatuh cinta). Tapi ,sebagai film bertema sejarah dan politik, film ini kurang bersikap, selain ada satu dua hal yang tidak akurat. Konflik sosial di Dukuh Paruk yang menyebabkan pembunuhan massal terhadap [yang dituduh] simpatisan PKI tidak tergarap. Militer tampak simpatik dalam film ini. Akibatnya, persoalan sejarah penting era itu tidak benar-benar terangkat.
Tapi, sekali lagi, film dan novel ini wajib ditonton dan didiskusikan.
Warta Kotayasa, sumber : Kaskus
1 komentar:
ANDA INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI DARWO DI NMR (_0 8 5 3 2 5 2 9 1 9 9 9_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20xTERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT
ANDA INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI DARWO DI NMR (_0 8 5 3 2 5 2 9 1 9 9 9_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20xTERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT
ANDA INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI DARWO DI NMR (_0 8 5 3 2 5 2 9 1 9 9 9_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20xTERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT
Posting Komentar